Saturday, June 23, 2018

PENYEBAB PENOLAKAN PALA BANDA DI UNI EROPA

Penulis: Caca Soulisa "nama sapaan sehari-hari".
Salah satu peserta penulisan essay yang diselenggarakan di desa Hila.

Kondisi Maluku sebagai penghasil tanaman rempah pala dan cengkeh telah begitu terkenal hingga belahan dunia internasional. Wanginya rempah Maluku terutama pala dan cengkeh menyebabkan bangsa Eropa datang dan menguasai negeri ini selama ratusan tahun.
Pala Banda atau dikenal juga dengan nama pala kepualauan Banda (Meristica frangnant hout) merupakan tanaman asli kepualauan Banda yang sudah begitu mendunia. Wanginya pala Banda bahkan mampu membuat bangsa Belanda dan Inggris saling bertikai dan berakhir dengan diadakannya perjanjian Breda pada tahun 1667, dimana mereka harus rela bertukar pulau antara pulau Run yang merupakan salah satu pulau panghasil pala di kepuluan Banda dengan empat wilayah di negara Amerika Serikat pada yakni pulau Manhattan di kota New York, Boston, Texas dan Florida. 
Kini wanginya pala kepulauan Banda yang selama ini menjadi primadona Maluku dan bahkan Indonesia mengalami kemunduran karena ditolak masuk ke negara-negara Uni Eropa disebabkan karena penanganan pasca panen yang tidak tepat.
Baru-baru ini oleh General Manager PT Kamboti Pusaka Maluku yang merupakan satu-satunya eksportir pala di Maluku mengumumkan bahwa, Pala Banda yang merupakan komoditi unggulan Maluku telah ditolak untuk diekspor ke Uni Eropa. Hal ini diperkuat oleh laporan direktur mutu dan pemasaran importir PT KPM di Roterdam, Belanda yaitu Verstegen Spices and Sauces BV Evert Chan Versace pada saat pertemuan dengan Direktur Utama PT.KPM Frans Paljama di kota Rotterdam Belanda pada hari Kamis, 24 Mei 2018.
Masalah ini cukup menghawatirkan, sebab pala Banda yang telah diakui oleh UNESCO dan ditetapkan sebagai warisan dari provinsi Maluku kini tidak mampu bersaing sebagai komoditi eksport unggulan dari Maluku. 
Penolakan ekspor pala Banda sendiri bukan tanpa alasan, akan tetapi penolakan tersebut disebabkan oleh beberapa hal diantaranya penanganan pasca panen oleh petani yang belum tepat, serta petani yang belum menerapkan sistem praktik-praktik perkebunan pala yang baik berdasarkan regulasi dan aturan yang telah ditetapkan oleh Uni Eropa.
Penanganan pasca panen yang dianggap belum sesuai dengan regulasi adalah sistem penjumuran pala oleh petani. Petani Banda biasanya membutuhan waktu sekitar sembilan hari penjumuran pada musim panas untuk mendapatkan pala yang benar-benar kering. Hal ini sesuai dengan  Stadar Nasional Indonesia yakni kadar air pada pala kering adalah 10%. Namun jika terjadi musim penghujan maka petani terpaksa melakukan pengasapan pala dan fuli. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan regulasi yang ditetapkan oleh Uni Eropa tentang keamanan pangan (food safety). Di mana mereka melarang dengan tegas bahwa biji pala kering dan fuli tidak boleh terkena asap yang bersumber dari apapun. 
Selain penjemuran, hal lain yang sangat perlu untuk ditindak lanjuti adalah sanitasi. Kebersihan dalam pengolahan pasca panen juga menjadi perhatian penting. Penanganan yang tidak tepat akan berakibat pada kualitas pala yang buruk diantaranya meningkatnya kandungan aflatoxin pada biji pala yang melebihi ambang batas. Ambang batas atau multy rapid level cemaran Aflatoxin B1,B2,G1 dan G2 pada biji pala kering adalah 10 ppb.  Aflatoxin sendiri adalah senyawa racun yang terkandung pada biji pala yang memicu pertumbuhan kanker pada manusia.
Menyadari penuh bahwa petani tidak dapat disalahkan dalam hal ini, maka dari itu sangat diperlukan kerja sama  lintas sektoral antara kementerian pertanian, kementerian perdangan, kementerian luar negeri Indonesia serta Atase Republik Indonesia bagian pertanian dan perdagangan untuk Uni Eropa. Kementerian pertanian harus banyak melakukan sosialisasi / pebinaan tentang praktik-praktik berkebun pala yang baik dalam hal ini adalah penanganan pasca panen. Serta harus mampu bekerja sama dengan kementerian perdagangan untuk mensosialisasikan mengenai standar dan regulasi ekspor pala ke Uni Eropa.
Diperlukan juga bantuan penyediaan fasilitas pengeringan pala dan fuli untuk petani yang tepat guna serta ramah lingkungan oleh pemerintah. Dibutuhkan pula peran aktif dari pemerintah provinsi Maluku dan pemerintah Kabupaten Maluku Tengah dalam pembinaan berkelanjutan kepada petani dan pedagang pengumpul pala di kepulauan Banda
Pala Banda yang merupakan komuditi unggulan harus tetap dilestarikan dan dijaga keberadaannya. Oleh karena itu pemerintah harus bersinergi untuk mengembalikan kepercayaan negara-negara Uni Eropa terhadap pala banda yang ramah lingkungan dan aman untuk dikonsumsi.


    

 





Tuesday, June 5, 2018

Bukan Ayat Cinta dari Negeri 5 Menara

Penulis berjilbab purple adalah peserta pelatihan penulisan essay, diselenggarakan di desa Hila


oleh: Safila Uyara
Dari zaman baheula hingga kiwari, karya sastra masih terus berkembang. Misalnya novel dengan berbagai tema diangkat. Mengulas berbagai macam fenomena yang menghimpit di tengah-tengah lingkungan masyarakat. Hingga novel menginsiprasi sejumlah kalangan—SMP dan SMA.
Pengaruh ini bisa diikuti pada perkembangan anak-anak remaja di media sosial. Fragmen novel ditulis kembali menjadi status di media sosial. Secuil dari pengaruh novel terhadap pribadi pembaca yang tidak langka.

Jika isi novel yang berbicara mengenai berbagai prasangka, ini berdampak terhadap sikologi pembaca. Sehingga genre novel menjadi tumpuan untuk kepentingan “mendidik” generasi dari apa yang terbaca oleh mereka (remaja) SMP dan SMA.
Pembaca setaraf SMP dan SMA alangkah baiknya membaca novel yang isinya mengispirasi. Genre novel tidak bisa disangkal, bahwa ia memiliki pengaruh terhadap mereka. Misalnya, genre religi: Ayat-Ayat Cinta, karangan Habiburrahman El Shirazy. Karangan Ahmad Fuadi, Rantau 1 Muara (seri pertama trilogi Negeri 5 Menara).

Karakter Fahri—tokoh utama dalam Ayat-Ayat Cinta dapat dilihat jelas. Misalnya, bila ingin belajar ia selalu datang tepat waktu. Tak kenal kata absen; tak kenal cuaca dan musim dingin yang menghunus. Selama tidak sakit dan tidak ada uzur atau keperluan yang amat penting, ia pasti datang—belajar qiraah sab’ah dan ushul tafsir.

Habiburrahman, menggambarkan perilaku Fahri yang selalu mengutamakan disiplin. Selain itu, Fahri adalah pria yang memiliki sifat bijaksana. Sehingga buah tangan Habiburrahman yang berhasil “menyihir” pembaca, juga diadaptasikan menjadi film.

Sikap bijaksana bukan hanya diterapkan Fahri dalam Ayat-Ayat Cinta. Namun, Alif—tokoh utama Rantau I Muara ini menuntun kita untuk bersikap yang sama:
“Hidup itu seni menjadi. Menjadi hamba Tuhan, sekaligus menjadi penguasa alam.Kita awal mulanya makhluk rohani, yang kemudian diberi jasad fisik oleh Tuhan dengan tugas menghamba kepada Dia dan menjadi khalifah untuk kebaikan alam semesta. Kalau kedua peran ini bisa kita jalankan, aku yakin manusia dalam puncak bahagia. Berbakti dan bermanfaat. Hamba tapi khalifah.” (Rantau 1 Muara, hal 139).

Dalam Sastra dan Tekhnik, Mochtar Lubis menulis, selain isinya [novel] yang mengandung hiburan, juga sarat akan nilai-nilai yang bermakna bagi kehidupan serta dapat menimbulkan pikiran, motivasi dan malah menggerakan pembacanya untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
Berdasarkan perspektif Mochtar Lubis, dua novel di atas dapat memompa moral value pembaca. Khususnya dari kalangan remaja. Habiburrahman melalui Fahri dan Ahmad Fuadi melalui Alif adalah dua karakter dari dua tokoh yang dapat dibilang sama.

Melalui novel dengan genre religi ini, oleh penulisnya, pembaca seperti di-“minta” untuk mengadopsi karakter kedua tokoh tersebut. Alasan ini, mungkin tepat juga. Khususnya bagi para remaja hari ini dan serta generasi akan datang. Dari sini, genre novel jadi babak penetuan….
“Perjalanan pulang ternyata lebih panas dari berangkat. Antara pukul setengah epat hingga pukul lima adalah puncak panas siang itu. Berada di dalam metro rasanya seperti berada dalam oven. Kondisi itu nyaris membuatku lupa akan titipan Maria. Aku baru teringat ketika keluar dari Mahattah Hadayek Helwan. Ada dua toko alat tulis. Kucari di sana. Dua-­duanya kosong.Aku melangkah ke Pyramid Com. Sebuah rental komputer yang biasanya menjual disket. Malang! Rental itu tutup.Terpaksa aku kembali ke Mahattah dan naik metro ke Helwan. Di kota kudapatkan juga disket itu. Aku beli empat. Dua untuk Maria dan dua untuk diriku sendiri. Kusempatkan mampir ke masjid berada tepat di sebelah Barat Mahattah Helwan untuk sholat Ashar. (Ayat-Ayat Cinta, 2007: 58).
“Tahukah kalian birrul walidain? Artinya berbakti kepada orang tua. Mereka berdua adalah tempat pengabdian penting kalian di dunia. Jangan pernah menyebutkan kata kasar dan menyebabkan mereka berduka. Selama mereka tidak membawa kepada kekafiran, wajib bagi kalian untuk patuh.” (Rantau 1 Muara, hlm 141)
Dua kutipan itu menjelaskan arti dari taat beribadah. Menjaga amanat seseorang dan berbakti kepada kedua orang tua. Kedua hal tersebut juga merupakan bentuk ketaatan beribadah kepada Tuhan.
Sehingga novel religi—untuk pembaca remaja, SMP dan SMA layak untuk dikonsumsi. Krisis ahlak yang menjadi fenomena sekarang, misalnya murid membunuh guru, siswa SD menghamili anak SMP, menjadi catatan penting. Bahwa novel, punya peran penting untuk mendongkrak ahlak dan sikap terpuji bagi pembacanya.
Ada beberapa novel, misalnya karangan Enny Arouw mungkin tidak diwajibakan untuk anak SMP dan SMA. Karena alur cerita yang sangat berpengaruh terhadap cara “berpikir”. Buku yang laris di tahun ’90-an ini mungkin dikhususkan bagi pembaca dewasa.
Pilihan genre novel adalah cara kita membina generasi. Khususnya mereka yang masih duduk di bangku pendidikan. Selain, menyuntik minat membaca terhadap siswa. Memilih genre novel karena tidak serta-merta semua novel layak dibaca.
Tetapi Ayat-Ayat Cinta dan Rantau 1 Muara adalah buah tangan pengarang Indonesia yang layak dikonsumsi semua kalangan. Pembahasan dua novel di atas sarat akan nilai edukatif, menginspirasi. Bukan sekadar ayat cinta yang tumpah dari “negeri” lima menara. [*]